Berita Utama

Partisipasi Perempuan Dalam Reforma Agraria

Bandung (24/9) – Pemerintah berkomitmen untuk melaksanakan reforma agraria yang menjadikan perempuan sebagai subyek pemangku kepentingan dan melibatkan perempuan dalam perumusan kebijakan agraria. Dalam praktiknya perempuan mempunyai peran signifikan dalam pengelolaan tanah dan sumber agraria, mulai dari pembibitan, penanaman, pemeliharaan hingga panen. Sayangnya, peran produktif perempuan belum sepenuhnya diakui dan diperhitungkan, sistem hukum dan budaya patriarki yang berlaku di Indonesia menyebabkan perempuan masih mengalami diskriminasi dan terpinggirkan dalam hal kepemilikan dan penguasaan tanah. 
 
Padahal jelas tertuang dalam Undang-undang Pokok Agraria No. 5 tahun 1960 serta TAP MPR No. IX tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan Sumber Daya Alam, yang menjamin prinsip keadilan termasuk kesetaraan gender dalam penguasaan, pemilikan, penggunaan, pemanfaatan, dan pemeliharaan sumber daya agraria/sumber daya alam. Namun, kenyataannya agenda reforma agraria yang dijalankan pemerintah belum sepenuhnya menyentuh persoalan konflik agraria yang massif di negera ini. Reforma agraria yang dicanangkan belum mampu membongkar politik agraria yang patriaki yang selama ini meminggirkan masyarakat, terlebih pada kaum perempuan. 
 
“Perempuan seringkali memiliki keterbatasan dalam pengambilan keputusan atas kontrol penggunaan lahan serta hasilnya. Hak perempuan atas tanah yang masih diatur oleh sistem hukum formal dan hukum adat menjadi salah satu penyebabnya. Ada tiga argumen kuat yang menjadi alasan perempuan harus memiliki hak atas tanah dan properti diantaranya, argumen kesejahteraan, argumen kesetaraan dan pemberdayaan serta argumen praktik dan strategis berbasis gender. Contohnya seperti kepemilikan tanah di Sumatera Selatan, dimana laki-laki memiliki kendali atas 84% lahan yang tersedia sedangkan perempuan hanya menguasai 16%. Adapun alasan di balik kondisi ini yakni, terbatasnya akses perempuan terhadap informasi, akses dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan, fasilitas dan saluran untuk keluhan dan mekanisme pelaporan serta terbatasnya akses perlindungan hak perempuan,” ujar Vennetia R Dannes dalam sambutannya mewakili Menteri PPPA dalam panel diskusi Global Land Forum (GLF) 2018 bertajuk “Women Right to Land in Asia”, di Gedung Merdeka Bandung. 
 
Kesenjangan gender yang terjadi di Indonesia menyebabkan perempuan kehilangan haknya atas beberapa akses diantaranya, akses pendidikan dimana persentase penduduk perempuan usia 15 tahun ke atas yang tidak atau belum pernah sekolah adalah 8,06%, sedangkan laki-laki sejumlah 3,72% (data susenas 2015). Kemudian akses lapangan pekerjaan, berdasarkan data dari ILO thaun 2014 partisipasi angkatan kerja perempuan 53,4%, sedangkan laki-laki 85%. Lalu akses perempuan dalam pengambilan keputusan berdasarkan data dari Sensus Pertanian tahun 2013, jumlah rumah tangga usaha pertanian sebanyak 26,14 juta, 23,14 juta rumah tangga usaha pertanian memiliki petani utama berjenis kelamin laki-laki dan hanya 3,00 juta rumah tangga memiliki petani utama berjenis kelamin perempuan. 
 
Sebelumnya, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian, Darmin Nasution dalam sambutannya saat membuka Global Land Forum 2018 menyampaikan bahwa pemerintah terus berupaya agar ekonomi Indonesia tumbuh berkualitas, inklusif, dan berkeadilan untuk seluruh lapisan masyarakat. “Pencanangan Kebijakan Pemerataan Ekonomi yang dilakukan bertumpu kepada tiga pilar besar, yaitu penyediaan lahan, penyediaan kesempatan berusaha, dan peningkatan keterampilan. Salah satunya dilaksanakan melalui program Reforma Agraria. Program ini bukan hanya sekedar bagi-bagi tanah, tetapi juga sekaligus memberikan akses permodalan, pasar, serta keterampilan yang diperlukan. Diperlukan komitmen dan kerjasama lintas Kementerian/Lembaga, Pemerintah Daerah, Pelaku Usaha, dan Kelompok Masyarakat Sipil agar target Reforma Agraria dapat tercapai.” tambah Darmin 
 
Vennetia menambahkan, salah satu kunci utama dari keberhasilan reforma agraria adalah untuk membawa isu ini menajadi lintas sektoral. Hal tersebut memungkinkan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) menyediakan pendekatan dan advokasi berbasis gender untuk masalah tanah terutama pada hak-hak wanita atas tanah dan properti. Sebelumnya, perencanaan dan penganggaran yang responsif gender sebagai alat untuk pengarusutamaan gender telah diterapkan di Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang menghasilkan peningkatan kepemilikan tanah yang signifikan oleh perempuan. “Harapannya melalui forum ini dapat menghasilkan rekomendasi yang berbasis gender seperti, penegasan kesetaraan dan keadilan gender sebagai prinsip/asas dalam kebijakan pertanahan, pengakuan perempuan sebagai pemangku kepentingan dan subyek pemegang hak atas tanah dan meningkatkan partisipasi perempuan dalam perencanaan, persiapan, pelaksanaan serta monitoring dan evaluasi dalam kebijakan dan proyek pengelolaan tanah dan sumber daya alam,” tutup Vennetia.