Merauke - Di momen peringati Hari Pendidikan Nasional 2 Mei 2025 ini, sangat cocok membuat ulasan tentang perbedaan guru dengan panggilan hati dan guru panggilan rupiah.
Faktanya, antara panggilan hati dan rupiah sama penting sebab ketika guru bekerja dengan tanggungjawab namun tidak mendapatkan upah yang setimpal tentu tidak adil. Namun sebaliknya, ketika hanya menerima gaji lalu abaikan tanggungjawab, jarang masuk kelas dan tidak ada di tempat tugas, itulah masalahnya.
Sejatinya guru dengan panggilan hati akan berbeda dengan panggilan money. Mereka akan tahan uji, setia dan lebih mengutamakan perannya sebagai pendidik. Sebaliknya bagi yang hanya mengejar rupiah akan kelihatan kinerjanya. Mereka banyak mengeluh, banyak alasan, tidak peduli tentang nasib anak didik sehingga kerja asal-asalan yang penting tiap bulan gaji masuk rekening.
"Kalau panggilan hati akan melaksanakan kewajiban dan tugas dengan senang hati, tapi kalau mereka bukan panggilan hati tapi karena rupiah mereka akan merasa berat dan susah," komentar Sardiyanto, S. Hut Kepala sekolah SMK Negeri 9 Merauke, Agribisnis dan Agro Tehnologi, pasca upacara peringati Hari Pendidikan Nasional di sekolahnya, Jumat, (2/5/2025).
Kondisi ini menjadi refleksi bersama bahwa dunia pendidikan khususnya di daerah pinggiran dan daerah pedalaman masih banyak yang harus dibenahi. Keluhan akan kinerja guru dan kepala sekolah masih bermunculan hampir di setiap sekolah yang jauh dari keramaian kota.
Namun kita perlu melihat faktor penyebabnya. Apakah memang gurunya yang bermasalah atau karena keterbatasan sarana prasarana, akses transportasi dan keamanan yang membuat guru tidak ada di tempat tugas untuk melaksanakan kewajibannya.
Pemerintah perlu memperhatikan infrastruktur dasar terutama akses jalan untuk memudahkan mobilitas masyarakat. Kondisi jalan rusak parah tidak segera diperhatikan juga memangkas langkah dan semangat guru, apalagi yang dasarnya bekerja bukan atas panggilan hati. Sarana prasarana sekolah maupun tempat tinggal bagi para guru, tenaga kesehatan jadi prioritas. Selain itu, ada ketegasan akan tenaga pendidik yang suka mangkir sebagai efek jera.
"Dukanya, jalan darat bertahun-tahun tidak pernah diperbaiki sangat menyulitkan kami untuk pulang pergi ke tempat tugas apalagi kalau ada urusan mendadak kedinasan harus mengeluarkan biaya tiga kali lipat bahkan lebih. Ke depan diharapkan pemerintah dan Dinas Pendidikan bisa mempermudah urusan administrasi kepegawaian sehingga guru di pedalaman hak-haknya tetap terpenuhi dan bisa tenang, nyaman bertugas tidak harus urus hal-hal kecil yang bisa dibantu dinas," pinta Sardiyanto.
Ia menuturkan, waktu normal jalan kering akan ditempuh sekitar 4 sampai 5 jam, tergantung penyeberangan, dengan biaya sekitar 300 ribuan. Kala musim penghujan jalan tidak bisa di lewati, kalau pakai speed biaya yang dikeluarkan sekitar Rp600.000 sampai satu juta, itupun tergantung jumlah penumpang speed dan sangat tergantung cuaca karena melewati laut lepas.
"Jalur udara, pesawat lancar tapi jumlah penerbangan terbatas jadi bisa antri dua minggu baru dapat tiket," imbuhnya.
Baca Juga : Pemprov Papua Selatan Akan Membangun Rumah Sakit Tipe A di Merauke
Di lain sisi ia mengakui bangga di sekolah yang dipimpinnya itu sudah dilengkapi Sapras, listrik, jaringan internet dan kebutuhan air ke rumah-rumah sudah tersedia. Sayangnya, masih ada komunikasi guru yang tidak ada di tempat tugas sehingga mempengaruhi keaktifan anak. Berhari-hari anak didik ke sekolah tanpa kehadiran guru akhirnya siswa memilih tinggal di rumah.
"Mereka (Siswa) sebenarnya pada aktif hanya kadang ada oknum guru berbulan bulan tidak datang jadi membuat mereka malas. Semoga ke depan pendidikan di pedalaman lebih baik lagi," pungkasnya.(Get)
0 Komentar
Komentar tidak ada